Berbicara yang akan dapat meningkatkan kualitas eksistensi
(keberadaan) di tengah-tengah orang lain, bukanlah sekadar berbicara,
tetapi berbicara yang menarik (atraktif), bernilai informasi
(informatif), menghibur (rekreatif), dan berpengaruh (persuasif). Dengan
kata lain, manusia mesti berbicara berdasarkan seni berbicara yang dikenal dengan istilah retorika.
Retorika adalah seni berkomunikasi secara lisan yang dilakukan oleh
seseorang kepada sejumlah orang secara langsung bertatap muka. Oleh
karena itu, istilah retorika seringkali disamakan dengan istilah pidato. Agar lebih jelas maka dalam ulasan berikut ini akan didalami secara bersama beberapa pemahaman dasar tentang retorika.
Dalam
Bahasa Yunani
ῥήτωρ, rhêtôr, orator, teacher) retorika adalah sebuah teknik
pembujuk-rayuan secara persuasi untuk menghasilkan bujukan dengan
melalui karakter pembicara, emosional atau argumen (logo). Plato secara
umum memberikan defenisi terhadap retorika sebagai suatu seni
manipulatif yang bersifat transaksional dengan menggunakan lambang untuk
mengidentifikasi pembicara dengan pendengar melalui pidato, dan yang
dipersuasi saling bekerja sama dalam merumuskan nilai, kepercayaan dan
pengharapan mereka. Ini yang dikatakan Kenneth Burke (1969) sebagai
substansi dengan penggunaan media oral atau tertulis.
Retorika memberikan suatu kasus lewat bertutur (menurut kaum sofis
yang terdiri dari Gorgias, Lysias, Phidias, Protagoras dan Socrates
akhir abad ke 5 SM), yang mengajarkan orang tentang keterampilan
berbicara dan menemukan sarana persuasif yang objectif dari suatu
kasus. Studi yang mempelajari kesalahpahaman serta penemuan saran dan
pengobatannya. Retorika juga mengajarkan tindak dan usaha yang efektif
dalam persiapan, penetaan dan penampilan tutur untuk membina saling
pengertian dan kerjasama serta kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat.
Dalam ajaran retorika Aristoteles, terdapat tiga teknis alat persuasi
(mempengaruhi) politik yaitu deliberatif, forensik dan demonstratif.
Retorika deliberatif memfokuskan diri pada apa yang akan terjadi dikemudian bila diterapkan sebuah kebijakan saat sekarang.
Retorika forensik
lebih memfokuskan pada sifat yuridis dan berfokus pada apa yang terjadi
pada masa lalu untuk menunjukkan bersalah atau tidak,
pertanggungjawaban atau ganjaran.
Retorika demonstartif memfokuskan pada wacana memuji dengan tujuan memperkuat sifat baik atau sifat buruk seseorang, lembaga maupun gagasan.
Objek studi retorika adalah kehidupan manusia. Kefasihan bicara
mungkin pertama kali dipertunjukkan dalam upacara adat: kelahiran,
kematian, lamaran, perkawinan, dan sebagainya. Pidato (retorika)
disampaikan oleh orang yang mempunyai status tinggi. Lewis Copeland
dalam kata pengantar bukunya tentang pidato tokoh-tokoh besar dalam
sejarah, mengatakan bahwa”penting sekali diperhatikan adalah catatan
peristiwa yang dramatis, yang seringkali disebabkan oleh para orator
hebat.
Sejak Yunani dan Roma sampai zaman kita sekarang, kepandaian orasi
dan kenegarawanan selalu berkaitan. Banyak jago pedang juga terkenal
dengan kefasihan bicaranya yang menawan”.
Uraian sistematis retorika yang pertama diletakkan oleh orang Syracuse, sebuah koloni Yunani di Pulau Sicilia. Bertahun-tahun
koloni itu diperintah para tiran. Tiran, di mana pun dan pada zaman apa
pun, senang menggusur tanah rakyat. Kira-kira tahun 465 SM, rakyat
melancarkan revolusi. Diktator ditumbangkan dan demokrasi ditegakkan.
Pemerintah mengembalikan lagi tanah rakyat kepada pemiliknya yang sah.
Untuk mengambil haknya, pemilik tanah harus sanggup meyakinkan dewan
juri di pengadilan. Waktu itu, tidak ada pengacara dan tidak ada
sertifikat tanah. Setiap orang harus meyakinkan mahkamah dengan
pembicaraan saja. Sering orang tidak berhasil memperoleh kembali
tanahnya, hanya karena ia tidak pandai bicara. Untuk membantu orang
memenangkan haknya di pengadilan,
Corax menulis makalah retorika, yang diberi nama Techne Logon (Seni
Kata-kata). Walaupun makalah ini sudah tidak ada, dari para penulis
sezaman, kita mengetahui bahwa dalam makalah itu ia berbicara tentang “teknik kemungkinan”.
Bila kita tidak dapat memastikan sesuatu, mulailah dari kemungkinan
umum. Seorang kaya mencuri dan dituntut di pengadilan untuk pertama
kalinya. Dengan teknik kemungkinan, kita bertanya, “Mungkinkah seorang
yang berkecukupan mengorbankan kehormatannya dengan mencuri? Bukankah,
sepanjang hidupnya, ia tidak pernah diajukan ke pengadilan karena
mencuri”. Sekarang, seorang miskin mencuri dan diajukan ke pengadilan
untuk kedua kalinya. Kita bertanya, “la pernah mencuri dan pernah
dihukum. Mana mungkin ia berani melakukan lagi pekerjaan yang sama”.
Akhirnya, retorika memang mirip “ilmu silat lidah”.
Di samping teknik kemungkinan, Corax meletakkan dasar-dasar organisasi pesan. Ia membagi pidato pada lima bagian: pembukaan, uraian, argumen, penjelasan tambahan, dan kesimpulan. Dari
sini, para ahli retorika kelak mengembangkan organisasi pidato.
Walaupun demokrasi gaya Syracuse tidak bertahan lama, ajaran Corax tetap
berpengaruh. Konon, Gelon, penguasa yang menggulingkan demokrasi dan
menegakkan kembali tirani, menderita halitosis (bau mulut).
Karena ia tiran yang kejam, tak seorang pun berani memberitahukan hal
itu kepadanya. Sampai di negeri yang asing, seorang perempuan asing
berani menyebutkannya. Ia terkejut. Ia memarahi istrinya, yang
bertahun-tahun begitu dekat dengannya, tetapi tidak memberitahukannya.
Istrinya menjawab bahwa karena ia tidak pernah dekat dengan laki-laki
lain, ia mengira semua laki-laki sama. Gelon tidak jadi menghukum
istrinya. Tampaknya, sang istri sudah belajar retorika dari Corax.
Masih di Pulau Sicilia, tetapi di Agrigenturn, hidup Empedocles
(490-430 SM), filosof, mistikus, politisi, dan sekaligus orator. Ia
cerdas dan menguasai banyak pengetahuan. Sebagai filosof, ia pernah
berguru kepada Pythagoras dan menulis The Nature of Things. Sebagai
mistikus, ia percaya bahwa setiap orang bisa bersatu dengan Tuhan bila
ia menjauhi perbuatan yang tercela. Sebagai politisi, ia memimpin
pemberontakan untuk menggulingkan aristokrasi dan kekuasaan diktator.
Sebagai orator, menurut Aristoteles, “ia mengajarkan prinsip-prinsip
retorika, yang kelak dijual Gorgias kepada penduduk Athena”.
Tahun 427 SM Gorgias dikirim sebagai duta ke Athena. Negeri itu
sedang tumbuh sebagai negara yang kaya. Kelas pedagang kosmopolitan
selain memiliki waktu luang lebih banyak, juga terbuka pada
gagasan-gagasan baru. Di Dewan Perwakilan Rakyat, di pengadilan, orang
memerlukan kemampuan berpikir yang jernih dan logis serta berbicara yang
jelas dan persuasif. Gorgias memenuhi kebutuhan “pasar” ini dengan
mendirikan sekolah retorika. Gorgias menekankan dimensi bahasa yang
puitis dan teknik berbicara impromtu (kita bahas pada Bab II).
Ia meminta bayaran yang mahal; sekitar sepuluh ribu drachma ($ 10.000)
untuk seorang murid saja. Bersama Protagoras dan kawan-kawan, Gorgias
berpindah dari satu kota ke kota yang lain. Mereka adalah “dosen-dosen
terbang”.
Protagoras menyebut kelompoknya sophistai, “guru kebijaksanaan” Sejarahwan menyebut mereka kelompok Sophis. Mereka
berjasa mengembangkan retorika dan mempopulerkannya. Retorika, bagi
mereka bukan hanya ilmu pidato, tetapi meliputi pengetahuan sastra,
gramatika, dan logika. Mereka tahu bahwa rasio tidak cukup untuk
meyakinkan orang. Mereka mengajarkan teknik-teknik memanipulasi emosi
dan menggunakan prasangka untuk menyentuh hati pendengar. Berkat kaum
Sophis, abad keempat sebelum Masehi adalah abad retorika. Jago-jago
pidato muncul di pesta Olimpiade, di gedung perwakilan dan pengadilan.
Bila mereka bertanding, orang-orang Athena berdatangan dari
tempat-tempat jauh; dan menikmati “adu pidato” seperti menikmati
pertandingan tinju. Kita hanya akan menyebutkan dua tokoh saja sebagai
contoh: Demosthenes dan Isocrates.
Berbeda dengan Gorgias, Demosthenes mengembangkan gaya bicara yang
tidak berbunga-bunga, tetapi jelas dan keras. Dengan cerdik, ia
menggabungkan narasi dan argumentasi. Ia juga amat memperhatikan cara
penyampaian (delivery). Menurut Will Durant, “ia meletakkan rahasia
pidato pada akting (hypocrisis). Berdasarkan keyakinan ini, ia berlatih
pidato dengan sabar. Ia mengulang-ulangnya di depan cermin. Ia membuat
gua, dan berbulan-bulan tinggal di sana, berlatih dengan diam-diam. Pada
masa-masa ini, ia mencukur rambutnya sebelah, supaya ia tidak berani
keluar dari persembunyiannya. Di mimbar, ia melengkungkan tubuhnya,
bergerak berputar, meletakkan tangan di atas dahinya seperti berpikir,
dan seringkali mengeraskan suaranya seperti menjerit.
Demosthenes pernah diusulkan untuk diberi mahkota atas jasa-jasanya
kepada negara dan atas kenegarawanannya. Aeschines, orator lainnya,
menentang pemberian mahkota dan memandangnya tidak konstitusional. Di
depan Mahkamah yang terdiri dari ratusan anggota juri, ia melancarkan
kecamannya kepada Demosthenes. Pada gilirannya, Demosthenes menyerang
Aeschines dalam pidatonya yang terkenal Perihal Mahkota. Dewan
juri memihak Demosthenes dan menuntut Aeschines untuk membayar denda.
Aeschines lari ke Rhodes dan hidup dari kursus retorika yang tidak
begitu laku. Konon, Demosthenes mengirimkan uang kepadanya untuk
membebaskannya dari kemiskinan. Persaudaraan karena profesi!
Duel antara dua orator itu telah dikaji sepanjang sejarah. Inilah buah pendidikan yang dirintis
oleh kaum Sophis. Tetapi ini juga yang membentuk citra negatif tentang
kaum Sophis. Seorang tokoh yang berusaha mengembangkan retorika dengan
menyingkirkan Sophisme negatif adalah Isocrates. Isocrates percaya bahwa
retorika dapat meningkatkan kualitas masyarakat; bahwa retorika tidak
boleh dipisahkan dari politik dan sastra. Tetapi ia menganggap tidak
semua orang boleh diberi pelajaran ini. Retorika menjadi sebuah
pelajaran elit, hanya untuk mereka yang berbakat.
Ia mendirikan sekolah retorika yang paling berhasil tahun 391 SM. Ia
mendidik muridnya menggunakan kata-kata dalam susunan yang jernih tetapi
tidak berlebih-lebihan, dalam rentetan anak kalimat yang seimbang
dengan pergeseran suara dan gagasan yang lancar. Karena ia tidak
mempunyai suara yang baik dan keberanian untuk tampil, ia hanya
menuliskan pidatonya. Ia menulis risalah-risalah pendek dan
menyebarkannya. Sampai sekarang risalah-risalah ini dianggap warisan
prosa Yunani yang menakjubkan. Gaya bahasa Isocrates telah mengilhami
tokoh-tokoh retorika sepanjang zaman: Cicero, Milton, Massillon, Jeremy
Taylor, dan Edmund Burke. Salah satu risalah yang ditulisnya mengkritik
kaum Sophis. Risalah ini ikut membantu berkembangnya kebencian kepada
kaum Sophis. Di samping itu, kaum Sophis kebanyakan para pendatang asing
di Athena. Orang selalu mencurigai yang dibawa orang asing. Apalagi
mereka mengaku mengajarkan kebijaksanaan dengan menuntut bayaran. Yang
tidak sanggup membayar tentu saja melepaskan kekecewaannya dengan
mengecam mereka. Socrates, misalnya, hanya sanggup membayar satu drachma
untuk kursus yang diberikan Prodicus. Karena itu, ia hanya memperoleh
dasar-dasar bahasa yang sangat rendah saja.
Socrates mengkritik kaum Sophis sebagai para prostitut. Orang yang
menjual kecantikan untuk memperoleh uang, kata Socrates, adalah
prostitut. Begitu juga, orang yang menjual kebijaksanaan. Murid Socrates
yang menerima pendapat gurunya tentang Sophisme adalah Plato. Plato
menjadikan Gorgias dan Socrates sebagai contoh retorika yang palsu dan
retorika yang benar, atau retorika yang berdasarkan pada Sophisme dan
retorika yang berdasarkan pada filsafat. Sophisme mengajarkan kebenaran
yang relatif. Filsafat membawa orang kepada pengetahuan yang sejati.
Ketika merumuskan retorika yang benar – yang membawa orang kepada
hakikat – Plato membahas organisasi, gaya, dan penyampaian pesan. Dalam
karyanya, Dialog, Plato menganjurkan para pembicara untuk
mengenal “jiwa” pendengarnya. Dengan demikian, Plato meletakkan
dasar-dasar retorika ilmiah dan psikologi khalayak. Ia telah mengubah
retorika sebagai sekumpulan teknik (Sophisme) menjadi sebuah wacana
ilmiah.
Aristoteles, murid Plato yang paling cerdas melanjutkan kajian retorika ilmiah. Ia menulis tiga jilid buku yang berjudul De Arte Rhetorica.
Dari Aristoteles dan ahli retorika klasik, kita memperoleh lima tahap
penyusunan pidato: terkenal sebagai Lima Hukum Retorika (The Five Canons
of Rhetoric). Inventio (penemuan). Pada tahap ini, pembicara
menggali topik dan meneliti khalayak untuk mengetahui metode persuasi
yang paling tepat. Bagi Aristoteles, retorika tidak lain daripada
“kemampuan untuk menentukan, dalam kejadian tertentu dan situasi
tertentu, metode persuasi yang ada”. Dalam tahap ini juga, pembicara
merumuskan tujuan dan mengumpulkan bahan (argumen) yang sesuai dengan
kebutuhan khalayak.
Aristoteles menyebut tiga cara untuk mempengaruhi manusia. Pertama, Anda
harus sanggup menunjukkan kepada khalayak bahwa Anda memiliki
pengetahuan yang luas, kepribadian yang terpercaya, dan status yang
terhormat (ethos). Kedua, Anda harus Menyentuh hati khalayak
perasaan, emosi, harapan, kebencian dan kasih sayang mereka (pathos).
Kelak, para ahli retorika modern menyebutnya imbauan emotional
(emotional appeals). Ketiga, Anda Meyakinkan khalayak dengan
mengajukan bukti atau yang kelihatan sebagai bukti. Di sini Anda
mendekati khalayak lewat otaknya (logos).
Di samping ethos, pathos, dan logos, Aristoteles menyebutkan dua cara lagi yang efektif untuk mempengaruhi pendengar: entimem dan
contoh. Entimem (Bahasa Yunani: “en” di dalam dan “thymos” pikiran)
adalah sejenis silogisme yang tidak lengkap, tidak untuk menghasilkan
pembuktian ilmiah, tetapi untuk menimbulkan keyakinan. Disebut tidak
lengkap, karena sebagian premis dihilangkan.
Sebagaimana Anda ketahui, silogisme terdiri atas tiga premis: mayor,
minor, dan kesimpulan. Semua manusia mempunyai perasaan iba kepada
orang yang menderita (mayor). Anda manusia (minor). Tentu Anda pun
mempunyai perasaan yang sama (kesimpulan). Ketika saya ingin
mempengaruhi Anda untuk mengasihi orang-orang yang menderita, saya
berkata, “Kasihanilah mereka. Sebagai manusia, Anda pasti mempunyai perasaan iba kepada orang yang menderita “. Ucapan
yang ditulis miring menunjukkan silogisme, yang premis mayornya
dihilangkan. Di samping entimem, contoh adalah cara lainnya. Dengan
mengemukakan beberapa contoh, secara induktif Anda membuat kesimpulan
umum. Sembilan dari sepuluh bintang film menggunakan sabun Lnx. Jadi,
sabun Lux adalah sabun para bintang film.
Dispositio (penyusunan). Pada tahap ini, pembicara menyusun
pidato atau mengorganisasikan pesan. Aristoteles menyebutnya taxis, yang
berarti pembagian. Pesan harus dibagi ke dalam beberapa bagian yang
berkaitan secara logis. Susunan berikut ini mengikuti kebiasaan berpikir
manusia: pengantar, pernyataan, argumen, dan epilog. Menurut
Aristoteles, pengantar berfungsi menarik perhatian, menumbuhkan
kredibilitas (ethos), dan menjelaskan tujuan.
Elocutio (gaya). Pada tahap ini, pembicara memilih kata-kata
dan menggunakan bahasa yang tepat untuk “mengemas” pesannya.
Aristoteles memberikan nasihat ini: gunakan bahasa yang tepat, benar,
dan dapat diterima; pilih kata-kata yang jelas dan langsung; sampaikan
kalimat yang indah, mulia, dan hidup; dan sesuaikan bahasa dengan
pesan, khalayak, dan pembicara.
Memoria (memori). Pada tahap ini, pembicara harus mengingat
apa yang ingin disampaikannya, dengan mengatur bahan-bahan
pembicaraannya. Aristoteles menyarankan “jembatan keledai” untuk
memudahkan ingatan. Di antara semua peninggalan retorika klasik,
memori adalah yang paling kurang mendapat perhatian para ahli retorika
modern.
Pronuntiatio (penyampaian). Pada tahap ini, pembicara menyampaikan pesannya secara lisan. Di sini, akting sangat berperan. Demosthenes menyebutnya hypocrisis (boleh
jadi dari sini muncul kata hipokrit). Pembicara harus memperhatikan
olah suara (vocis) dan gerakangerakan,anggota badan (gestus moderatio
cum venustate).
RETORIKA ZAMAN ROMAWI
Teori retorika Aristoteles sangat sistematis dan komprehensif. Pada
satu sisi, retorika telah memperoleh dasar teoretis yang kokoh. Namun,
pada sisi lain, uraiannya yang lengkap dan persuasif telah membungkam
para ahli retorika yang datang sesudahnya. Orang-orang Romawi selama dua
ratus tahun setelah tidak menambahkan apa-apa yang berarti bagi
perkembangan retorika.
Buku Ad Herrenium, yang ditulis dalam bahasa Latin kira-kira
100 SM, hanya mensistematisasikan dengan cara Romawi warisan retorika
gaya Yunani. Orang-orang Romawi bahkan hanya mengambil segi-segi
praktisnya saja. Walaupun begitu, kekaisaran Romawi bukan saja subur
dengan sekolah-sekolah retorika; tetapi juga kaya dengan orator-orator
ulung: Antonius, Crassus, Rufus, Hortensius. Yang disebut terakhir
terkenal begitu piawai dalam berpidato sehingga para artis berusaha
mempelajari gerakan dan cara penyampaiannya.
Kemampuan Hortensius disempurnakan oleh Cicero. Karena dibesarkan
dalam keluarga kaya dan menikah dengan istri yang memberinya kehormatan
dan uang, Cicero muncul sebagai negarawan dan cendekiawan. Pernah hanya
dalam dua tahun (45-44 SM), ia menulis banyak buku filsafat dan lima
buah buku retorika. Dalam teori, ia tidak banyak menampilkan penemuan
baru. Ia banyak mengambil gagasan dari Isocrates. Ia percaya bahwa efek
pidato akan baik, bila yang berpidato adalah orang baik juga. The good man speaks well. Dalam praktek, Cicero betul-betul orator yang sangat berpengaruh.
Caesar, penguasa Romawi yang ditakuti, memuji Cicero, “Anda
telah menemukan semua khazanah retorika, dan Andalah orang pertama yang
menggunakan semuanya. Anda telah memperoleh kemenangan yang lebih
disukai dari kemenangan para jenderal. Karena sesungguhnya lebih agung
memperluas batas-batas kecerdasan manusia daripada memperluas
batas-batas kerajaan Romawi”. Kira-kira 57 buah pidatonya sampai kepada
kita sekarang ini. Will Durant menyimpulkan kepada kita gaya pidatonya:
“Pidatonya mempunyai kelebihan dalam menyajikan secara bergelora satu
sisi masalah atau karakter; dalam menghibur khalayak dengan humor dan
anekdot; dalam menyentuh kebanggaan, prasangka, perasaan, patriotisme
dan kesalehan; dalam mengungkapkan secara keras kelemahan lawan – yang
sebenarnya atau yang diberitakan, yang tersembunyi atau yang terbuka;
dalam mengalihkan perhatian secara terampil dari pokok-pokok
pembicaraan yang kurang menguntungkan; dalam memberondong pertanyaan
retoris yang sulit dijawab; dalam menghimpun serangan-serangan, dengan
kalimat-kalimat periodik yang anak-anaknya seperti cambukan dan yang
badainya membahana….”
Dari tulisan-tulisannya yang sampai sekarang bisa dibaca, kita
mengetahui bahwa Cicero sangat terampil dalam menyederhanakan
pembicaraan yang sulit. Bahasa Latinnya mudah dibaca. Melalui penanya,
bahasa mengalir dengan deras tetapi indah. Puluhan tahun sepeninggal
Cicero, Quintillianus mendirikan sekolah retorika. Ia sangat mengagumi
Cicero dan berusaha merumuskan teori-teori retorika dari pidato dan
tulisannya. Apa yang dapat kita pelajari dari Quintillianus? Banyak.
Secara singkat, Will Durant menceritakan kuliah retorika Quantillianus,
yang dituliskannya dalam buku Institutio Oratoria:
Ia mendefinisikan retorika sebagai ilmu berbicara yang baik.
Pendidikan orator harus dimulai sebelum dia lahir: Ia sebaiknya berasal
dari keluarga terdidik, sehingga ia bisa menerima ajaran yang benar dan
akhlak yang baik sejak napas yang ia hirup pertama kalinya. Tidak
mungkin menjadi terpelajar dan terhormat hanya dalam satu generasi.
Calon orator harus mempelajari musik supaya ia mempunyai telinga yang
dapat mendengarkan harmoni; tarian, supaya ia memiliki keanggunan dan
ritma; drama, untuk menghidupkan kefasihannya dengan gerakan dan
tindakan; gimnastik, untuk memberinya kesehatan dan kekuatan; sastra,
untuk membenhik gaya dan melatih memorinya, dan memperlengkapinya dengan
pemikiran-pemikiran besar; sains, untuk memperkenalkan dia dengan
pemahaman mengenai alam; dan filsafat, untuk membentuk karakternya
berdasarkan petunjuk akal dan bimbingan orang bijak. Karena semua
persiapan tidak ada manfaatnya jika integritas akhlak dan kemuliaan
rohani tidak melahirkan ketulusan bicara yang tak dapat ditolak.
Kemudian, pelajar retorika harus menulis sebanyak dan secermat mungkin.
RETORIKA ABAD PERTENGAHAN
Sejak zaman Yunani sampai zaman Romawi, retorika selalu berkaitan
dengan kenegarawanan. Para orator umumnya terlibat dalam kegiatan
politik. Ada dua cara untuk memperoleh kemenangan politik: talk it out (‘membicarakan sampai tuntas) atau shoot it out (menembak
sampai habis). Retorika subur pada cara pertama, cara demokrasi.
Ketika demokrasi Romawi mengalami kemunduran, dan kaisar demi kaisar
memegang pemerintahan, “membicarakan” diganti dengan “menembak”.
Retorika tersingkir ke belakang panggung. Para kaisar tidak senang
mendengar orang yang pandai berbicara.
Abad pertengahan sering disebut abad kegelapan, juga buat retorika.
Ketika agama Kristen berkuasa, retorika dianggap sebagai kesenian
jahiliah. Banyak orang Kristen waktu itu melarang mempelajari retorika
yang dirumuskan oleh orang-orang Yunani dan Romawi, para penyembah
berhala. Bila orang memeluk agama Kristen, secara otomatis ia akan
memiliki kemampuan untuk nmnyampaikan kebenaran. St. Agustinus, yang
telah mempelajari retorika sebelum masuk Kristen tahun 386, adalah
kekecualian pada zaman itu.
Dalam On Christian Doctrine (426), ia menjelaskan bahwa para
pengkhotbah harus sanggup mengajar, menggembirakan, dan menggerakkan –
yang oleh Cicero disebut sebagai kewajiban orator. Untuk mencapai
tujuan Kristen, yakni mengungkapkan kebenaran, kita harus mempelajari
teknik penyampaian pesan.
Satu abad kemudian, di Timur muncul peradaban baru. Seorang Nabi
menyampaikan firman Tuhan, “Berilah mereka nasihat dan berbicaralah
kepada mereka dengan pembicaraan yang menyentuh jiwa mereka” (Alquran
4:63). Muhammad saw. bersabda, memperteguh firman Tuhan ini, “Sesungguhnya dalam kemampuan berbicara yang baik itu ada sihirnya”.
Ia sendiri seorang pembicara yang fasih – dengan kata-kata singkat yang mengandung
makna padat. Para sahabatnya bercerita bahwa ucapannya sering
menyebabkan pendengar berguncang hatinya dan berlinang air matanya.
Tetapi ia tidak hanya menyentuh hati, ia juga mengimbau akal para
pendengarnya. Ia sangat memperhatikan orang-orang yang dihadapinya, dan
menyesuaikan pesannya dengan keadaan mereka. Ada ulama yang
mengumpulkan khusus pidatonya dan menamainya Madinat al-Balaghah (Kota
Balaghah). Salah seorang sahabat yang paling dikasihinya, Ali bin Abi
Thalib, mewarisi ilmunya dalam berbicara. Seperti dilukiskan Thomas
Carlyle, “every antagonist in the combats of tongue or of sword was subdited by his eloquence and valor”. Pada
Ali bin Abi Thalib, kefasihan dan kenegarawanan bergabung kembali.
Khotbah-khotbahnya dikumpulkan dengan cermat oleh para pengikutnya dan
diberi judul Nahj al-Balaghah (Jalan Balaghah).
Balaghah menjadi disiplin ilmu yang menduduki status yang mulia dalam
peradaban Islam. Kaum Muslim menggunakan balaghah sebagai pengganti
retorika. Tetapi, warisan retorika Yunani, yang dicampakkan di Eropa
Abad Pertengahan, dikaji dengan tekun oleh para ahli balaghah. Sayang,
sangat kurang sekali studi berkenaan dengan kontribusi Balaghah pada
retorika modern. Balaghah, beserta ma’ani dan bayan, masih tersembunyi di pesantren-pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional.
RETORIKA MODERN
Abad Pertengahan berlangsung selama seribu tahun (400-1400). Di
Eropa, selama periode panjang itu, warisan peradaban Yunani diabaikan.
Pertemuan orang Eropa dengan Islam – yang menyimpan dan mengembangkan
khazanah Yunani – dalam Perang Salib menimbulkan Renaissance. Salah
seorang pemikir Renaissance yang menarik kembali minat orang pada
retorika adalah Peter Ramus. Ia membagi retorika pada dua bagian. Inventio dan dispositio dimasukkannya sebagai bagian logika. Sedangkan retorika hanyalah berkenaan dengan elocutio dan pronuntiatio saja. Taksonomi Ramus berlangsung selama beberapa generasi.
Renaissance mengantarkan kita kepada retorika modern. Yang membangun
jembatan, menghubungkan Renaissance dengan retorika modern adalah Roger
Bacon (1214-1219). Ia bukan saja memperkenalkan metode eksperimental,
tetapi juga pentingnya pengetahuan tentang proses psikologis dalam studi
retorika. Ia menyatakan, “… kewajiban retorika ialah menggunakan rasio
dan imajinasi untuk menggerakkan kemauan secara lebih baik”. Rasio,
imajinasi, kemauan adalah fakultas-fakultas psikologis yang kelak
menjadi kajian utama ahli retorika modern.
Aliran pertama retorika dalam masa modern, yang menekankan proses psikologis, dikenal sebagai aliran epistemologis. Epistemologi
membahas “teori pengetahuan”; asal-usul, sifat, metode, dan batas-batas
pengetahuan manusia. Para pemikir epistemologis berusaha mengkaji
retorika klasik dalam sorotan perkembangan psikologi kognitif (yakni,
yang membahas proses mental).
George Campbell (1719-1796), dalam bukunya The Philosophy of Rhetoric, menelaah
tulisan Aristoteles, Cicero, dan Quintillianus dengan pendekatan
psikologi fakultas (bukan fakultas psikologi). Psikologi fakultas
berusaha menjelaskan sebab-musabab perilaku manusia pada empat fakultas –
atau kemampuan jiwa manusia: pemahaman, memori, imajinasi, perasaan,
dan kemauan. Retorika, menurut definisi Campbell, haruslah diarahkan
kepada upaya “mencerahkan pemahaman, menyenangkan imajinasi,
menggerakkan perasaan, dan mempengaruhi kemauan”.
Richard Whately mengembangkan retorika yang dirintis Campbell. Ia
mendasarkan teori retorikanya juga pada psikologi fakultas. Hanya saja
ia menekankan argumentasi sebagai fokus retorika. Retorika harus
mengajarkan bagaimana mencari argumentasi yang tepat dan
mengorganisasikannya secara baik. Baik Whately maupun Campbell
menekankan pentingnya menelaah proses berpikir khalayak. Karena itu,
retorika yang berorientasi pada khalayak (audience-centered) berutang
budi pada kaum epistemologis – aliran pertama retorika modern.
Aliran retorika modern kedua dikenal sebagai gerakan belles lettres (Bahasa
Prancis: tulisan yang indah). Retorika belletris sangat mengutamakan
keindahan bahasa, segi-segi estetis pesan, kadang-kadang dengan
mengabaikan segi informatifnya. Hugh Blair (1718-1800) menulis Lectures on Rhetoric and Belles Lettres. Di
sini ia menjelaskan hubungan antara retorika, sastra, dan kritik. Ia
memperkenalkan fakultas citarasa (taste), yaitu kemampuan untuk
memperoleh kenikmatan dari pertemuan dengan apa pun yang indah. Karena
memiliki fakultas citarasa, Anda senang mendengarkan musik yang indah,
membaca tulisan yang indah, melihat pemandangan yang indah, atau
mencamkan pidato yang indah. Citarasa, kata Blair, mencapai kesempurnaan
ketika kenikmatan inderawi dipadukan dengan rasio – ketika rasio dapat
menjelaskan sumber-sumber kenikmatan.
Aliran pertama (epistemologi) dan kedua (belles lettres) terutama
memusatkan perhatian mereka pada persiapan pidato – pada penyusunan
pesan dan penggunaan bahasa. Aliran ketiga – disebut gerakan elokusionis – justru
menekankan teknik penyampaian pidato. Gilbert Austin, misalnya
memberikan petunjuk praktis penyampaian pidato, “Pembicara tidak boleh
melihat melantur. Ia harus mengarahkan matanya langsung kepada
pendengar, dan menjaga ketenangannya. Ia tidak boleh segera melepaskan
seluruh suaranya, tetapi mulailah dengan nada yang paling rendah, dan
mengeluarkan suaranya sedikit saja; jika ia ingin mendiamkan gumaman
orang dan mencengkeram perhatian mereka”. James Burgh, misal yang lain,
menjelaskan 71 emosi dan cara mengungkapkannya.
Dalam perkembangan, gerakan elokusionis dikritik karena perhatian –
dan kesetiaan – yang berlebihan pada teknik. Ketika mengikuti kaum
elokusionis, pembicara tidak lagi berbicara dan bergerak secara spontan.
Gerakannya menjadi artifisial. Walaupun begitu, kaum elokusionis telah
berjaya dalam melakukan penelitian empiris sebelum merumuskan
“resep-resep” penyampaian pidato. Retorika kini tidak lagi ilmu
berdasarkan semata-mata “otak-atik otak” atau hasil perenungan rasional
saja. Retorika, seperti disiplin yang lain, dirumuskan dari hasil
penelitian empiris.
Pada abad kedua puluh, retorika mengambil manfaat dari perkembangan
ilmu pengetahuan modern – khususnya ilmu-ilmu perilaku seperti psikologi
dan sosiologi. Istilah retorika pun mulai digeser oleh speech, speech communication, atau oral communication, atau public speaking. Di bawah ini diperkenalkan sebagian dari tokoh-tokoh retorika mutakhir:
1. James A Winans
Ia adalah perintis penggunaan psikologi modern dalam pidatonya. Bukunya, Public Speaking, terbit tahun 1917 mempergunakan
teori psikologi dari William James dan E.B. Tichener. Sesuai dengan
teori James bahwa tindakan ditentukan oleh perhatian, Winans,
mendefinisikan persuasi sebagai “proses menumbuhkan perhatian yang
memadai baik dan tidak terbagi terhadap proposisi-proposisi”. Ia
menerangkan pentingnya membangkitkan emosi melalui motif-motif
psikologis seperti kepentingan pribadi, kewajiban sosial dan kewajiban
agama. Cara berpidato yang bersifat percakapan (conversation) dan
teknik-teknik penyampaian pidato merupakan pembahasan yang amat
berharga. Winans adalah pendiri Speech Communication Association of America (1950).
2. Charles Henry Woolbert
Ia pun termasuk pendiri the Speech Communication Association of America. Kali
ini psikologi yang amat mempengaruhinya adalah behaviorisme dari John
B. Watson. Tidak heran kalau Woolbert memandang “Speech Communication”
sebagai ilmu tingkah laku. Baginya, proses penyusunan pidato adalah
kegiatan seluruh organisme. Pidato merupakan ungkapan kepribadian.
Logika adalah dasar utama persuasi. Dalam penyusunan persiapan pidato,
menurut Woolbert harus diperhatikan hal-hal berikut: (1) teliti
tujuannya, (2) ketahui khalayak dan situasinya, (3) tentukan proposisi
yang cocok dengan khalayak dan situasi tersebut, (4) pilih
kalimat-kalimat yang dipertalikan secara logis. Bukunya yang terkenal
adalah The Fundamental of Speech.
3. William Noorwood Brigance
Berbeda dengan Woolbert yang menitikberatkan logika, Brigance
menekankan faktor keinginan (desire) sebagai dasar persuasi.
“Keyakinan”, ujar Brigance, “jarang merupakan hasil pemikiran. Kita
cenderung mempercayai apa yang membangkitkan keinginan kita, ketakutan
kita dan emosi kita”. Persuasi meliputi empat unsur: (1) rebut perhatian
pendengar, (2) usahakan pendengar untuk mempercayai kemampuan dan
karakter Anda, (3) dasarkanlah pemikiran pada keinginan, dan (4)
kembangkan setiap gagasan sesuai dengan sikap pendengar.
4. Alan H. Monroe
Bukunya, Principles and Types of Speech, banyak kita
pergunakan dalam buku ini. Dimulai pada pertengahan tahun 20-an Monroe
beserta stafnya meneliti proses motivasi (motivating process). Jasa,
Monroe yang terbesar adalah cara organisasi pesan. Menurut Monroe, pesan
harus disusun berdasarkan proses berpikir manusia yang disebutnya motivated sequence.
Beberapa sarjana retorika modern lainnya yang patut kita sebut antara lain A.E. Philips (Effective Speaking, 1908), Brembeck dan Howell (Persuasion: A Means of Social Control, 1952), R.T. Oliver (Psychology of Persuasive Speech, 1942). Di Jerman, selain tokoh “notorious” Hitler, dengan bukunya Mein Kampf, maka Naumann (Die Kunst der Rede, 1941), Dessoir (Die Rede als Kunst, 1984) dan Damachke (Volkstumliche Redekunst, 1918) adalah pelopor retorika modern juga.